Semarang – Provinsi Jawa Tengah menempati urutan 13 tingkat nasional risiko bencana dengan skor 158. Angka tersebut berdasarkan indeks risiko bencana Indonesia 2013.
Sekda Jateng Sri Puryono KS mengatakan, frekuensi kejadian bencana di Jawa Tengah selama 2016-2018 cukup tinggi dan fluktuatif. Pada 2016 data kejadian bencana tercatat 1.574 kejadian, 2017 sebanyak 2.304 kejadian, dan 2018 tercatat 1.760 kejadian dengan dominasi bencana tanah longsor, kebakaran, dan angin topan.
“Saat ini kita sedang mengalami bencana kebakaran hutan di Taman Nasional Gunung Merbabu di wilayah Resort Pakis, Wonolelo, Selo, dan Ampel. Selain di Gunung Merbabu, kebakaran hutan juga terjadi Gunung Slamet yang meliputi wilayah Kabupaten Tegal, Brebes dan Banyumas, serta Gunung Merapi,” jelas Sekda saat memberi sambutan pada Mikrozonasi Kota Besar di Hotel Grand Candi Semarang, Kamis (19/9).
Kebakaran di Gunung Merbabu seluas 436 hektare dan sempat padam pada Minggu (15/9). Namun karena angin yang bertiup kencang, api kembali muncul di dua titik dan kembali membakar hutan.
Sedangkan kebakaran pertama di Gunung Slamet yang meliputi daerah Bumijawa seluas 15 hektare, kemudian meluas ke wilayah Banyumas, lalu melebar ke arah Sawangan Bumijawa seluas 225 hektare.
“Sampai dengan saat ini kemungkinan bertambah. Diharapkan kejadian bencana kebakaran di Gunung Merbabu dan Gunung Slamet dapat segera diatasi dengan upaya sinergis semua pihak yang terkait, terutama LHK dan Perhutani,” harapnya.
Untuk mengurangi terjadinya hal-hal serupa serta menghadapi bencana ini diperlukan adanya organisasi dan koordinasi dengan pihak-pihak terkait.
Baca juga:
- Kemarau Panjang, Pusdalops BPBD Kota Semarang Dropping Air Bersih di Tembalang
- Gubernur Jateng Ajak Para Guru Terapkan Pendidikan Mitigasi Bencana
Selain itu, anggaran untuk tanggap bencana serta penguatan SDM baik dari masyarakat, Lembaga Pendidikan, kesehatan, dan lainnya harus dipetakan.
Termasuk juga di dalamnya adalah melakukan perlindungan fasilitas, membangun regulasi dan perencanaan penggunaan lahan. perlindungan terhadap lingkungan dan ekosistem, serta memasang peralatan peringatan dini dan penguatan kapasitas manajemen tanggap darurat.
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwi Korita Karnawati menambahkan, BMKG memperkirakan musim kemarau di sejumlah wilayah Indonesia masih akan terjadi hingga November 2019 atau lebih lama dibanding tahun-tahun sebelumnya.
“Musim kemarau 2015 merupakan paling lama dan tahun ini nomor dua setelah musim kemarau pada 2015. Musim hujan mundur sehingga kemarau menjadi lebih panjang,” katanya. (*)
Komentar