SMJTimes.com – Para orang tua, pernahkah Anda memberikan ancaman kepada anak agar mereka tidak melakukan kesalahan dan tetap patuh terhadap perintah? Pola asuh tersebut biasanya dikenal dengan fear-based parenting atau pola asuh berdasar rasa takut.
Setiap pola asuh memiliki konsekuensi masing-masing, termasuk fear-based parenting. Pola asuh ini disebut dapat memengaruhi perkembangan anak, kesehatan mental, dan hubungan antara anak dan orang tua.
Mengapa demikian? Oleh sebab itu, berikut ini kami rangkum tentang fear-based parenting dan dampaknya pada perkembangan anak, dikutip dari berbagai sumber.
Apa itu fear-based parenting?
Dilansir dari PsychCentral, Dr. Stuart Ablon yang merupakan psikolog klinis mendefinisikan fear-based parenting sebagai pola asuh orang tua yang menggunakan kekuasaan dan kendali untuk membuat anak-anak patuh atau memenuhi harapan mereka.
Ia mengatakan bahwa ide pola asuh tersebut agar anak takut akan konsekuensi jika tidak patuh, sehingga lebih cenderung melakukan apa yang dikatakan orang tua. Konsekuensi tersebut bisa berupa ancaman pukulan, mengambil barang favorit, hingga berkurangnya waktu bermain.
Gaya pengasuhan ini pertama kali dijelaskan oleh psikolog Diana Baumrind pada tahun 1960-an, merujuk pada orang tua yang otoriter. Mereka sering kali memiliki aturan yang ketat dan mengandalkan hukuman untuk membuat anak mengikuti perkataan mereka.
Misalnya, orang tua menolak memberi izin anak mereka keluar bersama teman-teman tanpa pengawasan. Adapun tujuannya mungkin baik, karena takut anak terpapar pergaulan bebas maupun narkoba.
Meski demikian, pola asuh ini didasarkan pada rasa takut dan cemas, bukan rasa ingin tahu dan pertumbuhan. Hal ini tentu memberikan dampak pada pertumbuhan anak, termasuk potensi sering berbohong, sulit membuat keputusan, takut gagal dan mengecewakan, hingga terjerumus hal-hal yang tidak baik.
Apa dampak negatifnya?
Pola asuh yang didasarkan pada rasa takut dapat berdampak pada perkembangan anak dan hubungan mereka dengan orang lain, termasuk orang tua.
Anak mungkin takut jika orang tua berkata ‘tidak’, sehingga mendorong mereka sengaja berbohong untuk mendapatkan keinginan mereka atau sekadar menghindar dari ancaman atau hukuman yang mungkin diberikan.
Selain itu, pola asuh ini mencegah pembelajaran melalui kesalahan. Anak yang dipaksa mematuhi perintah tidak bisa mengeksplorasi diri, sehingga tidak mengetahui rasanya sakit karena terjatuh, gagal setelah berjuang, dan belajar dari kesalahan tersebut.
Padahal, anak-anak perlu mengalami situasi yang sulit sehingga mereka dapat belajar, tumbuh, dan memperoleh kepercayaan diri untuk untuk mengatasi masalah dan mencapai sesuatu.
Jika dibiarkan, anak mungkin takut membuat keputusan. Ini berpotensi menyebabkan menurunnya rasa percaya diri, kecemasan, atau kurangnya ketahanan. Dampak lainnya, anak rentan depresi, gangguan kecemasan, hingga terjerumus ke hal-hal negatif.
Apa yang harus dilakukan?
Bagi orang tua, penting melakukan pendekatan pola asuh dengan kasih sayang. Hal yang paling penting, mulailah dengan membangun koneksi dengan anak-anak Anda.
Jika mereka menunjukkan perilaku yang tidak diinginkan, orang tua harus mengetahui alasan mengapa mereka melakukan hal tersebut, bukan memberikan ancaman tanpa membuat mereka belajar dari kesalahan.
Disarankan orang tua untuk melakukan kontak mata dan berbicara perlahan kepada anak. Tanyakan apa yang mereka rasakan dan tawarkan solusi yang bersifat korektif tetapi mendukung. (*)
Komentar