Sejarah Masuknya Ajaran Nasrani ke Indonesia

Bagikan ke :

Sebagai seorang pemimpin desa, Coolen yang Kristen menikahi perempuan setempat bernama Saijah karena istrinya di Surabaya menolak untuk ikut ke Ngoro untuk mempraktikkan toleransi hubungan antara Kristen dan Islam.

Dalam buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (2004) karya Jan S. Aritonang, disebutkan bahwa warga desanya yang muslim dipersilakan mendirikan masjid. Penduduk yang tengah menyewa lahannya atau bergabung dengan komunitas warga Ngoro tidak diminta menjadi Kristen. Sosok Coolen berbaur dan dikelilingi kalangan pemuka agama Islam maupun Kristen.

Bertani sambil Menyemai Kristus

Sosok Coolen sebagai pemimpin desa dihormati warga setempat. Meski seorang Belanda, ia sangat menghayati aspek-aspek budaya Jawa yang ia akrabi lewat pergaulannya dan dari ibunya sendiri.

Coolen mulai tergerak untuk mengkristenkan warganya ketika rumahnya yang memiliki pendopo acapkali didatangi oleh penduduk Ngoro untuk saling berbagi obrolan. Pada mulanya, para penduduk hanya boleh menghuni gubuk oleh Coolen. Tidak jelas mengapa ia menerapkan aturan seperti ini ketika hasil panen warga kampung itu bisa untuk membangun rumah.

Melalui karakter wayang dan legenda setempat, Coolen menawarkan solusi Kristen untuk setiap permasalahan yang disampaikan warga.

Coolen akhirnya membangun gereja sendiri dan memimpin kebaktian, termasuk membaca dan mengkaji kitab suci. Di tengah-tengah masyarakat kecil yang teokratis ini, ia mengeluarkan larangan bekerja di hari Minggu. Setiap orang baik yang Kristen dan Islam harus mematuhi peraturan. Namun, Coolen tetap membolehkan warga muslim menjalankan ibadah.

Agama Kristen yang identik dengan Belanda ini oleh Coolen dipadukan dengan sosok Dewi Sri dan Gunung Semeru yang dikeramatkan. Ia mengubah kalimat-kalimat dalam Injil agar padu dengan penduduk Jawa dengan kepercayaan lokalnya termasuk para penganut Islam. Salah satunya seperti yang tertuang dalam tembang yang berhasil ditulis oleh van den End dalam buku Ragi Carita:

“Apabila seorang hendak membajak sawahnya, Coolen diminta untuk membuka alur pertama. Maka ia memegang alat luku sambil menyanyikan tembang: O, Gunung Semeru, Kau tertinggi di tanah Jawa, kepada engkau ditunjukkan lagu pujian ini.”

“Berkatilah hasil karya tangan kami ini. Berkatilah mata bajak yang menggemburkan tanah yang patut disebari benih dan menyebarlah benih. Berkatilah garu penghalus tanah ini. Di tanah inilah Dewi Sri bersuka hati, dewi padi yang memberi kami kemakmuran. Dan di atas segalanya, kami mendambakan kasih dan kekuatan dari Yesus, Yang Mahakuasa.”

“Karena Coolen juga punya bakat melukis, ia turut menuangkan isi khotbahnya ke dalam lukisan yang menggambarkan dirinya sedang berdiri di sawah, lengkap dengan topi jerami dan bersama bajak yang ditarik dua kerbau, dengan kalimat “Coolen sama bakerja kasih ienget orang pegimana bekeering (memeluk agama baru).”

Coolen mulai mengalami masa-masa sulit ketika pada tahun 1842 beberapa anggota jemaah Kristen Wiung yang telah berhubungan dengan Emde mengetahui bahwa ada perbedaan pengajaran antara Kristen yang dibawa Coolen dengan Kristen yang diperkenalkan Emde.

Kristen yang diperkenalkan Emde jelas lebih kental berbau Barat. Oleh karena itu, tidak ditemui sosok Dewi Sri, Semeru dan Yesus dalam narasi tunggal. Berbekal informasi tersebut, jemaah Wiung mengira Coolen telah mengelabui warga Ngoro. Terlebih lagi, Coolen tidak melangsungkan permandian baptisan kepada jemaah Kristen Ngoro.

Berita perdebatan ini pada akhirnya sampai ke telinga penduduk Ngoro dan mengakibatkan kegaduhan. Pada tahun yang sama, Coolen harus menghadapi kebijakan kerja rodi dari pemerintah Belanda. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa pemerintah tidak mengakui persil yang dikelola Coolen sebagai suatu perkebunan, melainkan sebuah desa Jawa tulen. Coolen jelas menolak dan berkali-kali mengiba kepada pemerintah melalui surat berbahasa Belanda.

Dijelaskan dalam buku Guillot, Coolen si pembangkang diseret ke meja hijau di Surabaya pada bulan Mei 1844. Hakim memutuskan Coolen berada dalam status “pengawasan” karena “melanggar ketertiban umum”.

Pedihnya lagi, ketika kembali ke Ngoro, Coolen mendapati penduduk desanya tak lagi fanatik pada ajarannya. Beberapa pengikutnya malah ingin seperti penduduk Kristen Wiung; mereka minta dibaptis di Surabaya—sesuatu yang tidak dikehendaki Coolen.

Menurut Coolen, pembaptisan membuat mereka tak lagi jadi orang Jawa, melainkan menjadi seperti Belanda. Coolen sendiri menikah lagi dengan seorang Jawa di sebuah masjid, yang tentunya tidak melalui sakramen di Gereja.

Penduduk Ngoro makin membangkang. Pada September 1844, lapisan masyarakat penduduk Ngoro berbondong-bondong pergi ke Surabaya untuk dibaptis.

Dalam sebuah khotbah di gereja, Coolen dengan terang-terangan mengusir para penduduk Ngoro yang telah dibaptis di Surabaya karena dianggap tidak mengikuti perintah sang guru. Meski berat bagi penduduk Ngoro, itu tidak menyurutkan niat mereka untuk dibaptis di Surabaya pada tahun berikutnya.

Sejalan dengan pembaptisan di Surabaya, penduduk Ngoro tiap tahun berkurang meninggalkan Coolen dan kampungnya. Sejatinya, keadaan Desa Ngoro sendiri tengah menuju masa puncak kejayaan dengan hasil panen yang melimpah dan pengelolaan yang bagus. (*)

Komentar