Pengakuan Kedua Pihak terkait Sengketa Tanah di Pati

Bagikan ke :

Pati, SMJTimes.comSengketa tanah di Desa Banjarsari, Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati masih terus bergulir. Saat ini kasusnya tengah dalam proses peradilan di Pengadilan Negeri Kelas IA Pati.

Pihak yang berkonflik dalam perkara ini adalah pemerintah Desa Banjarsari dan keluarga besar pemilik akta tanah atas nama Sukiman. Sedang objeknya berupa sepetak lahan di belakang SD 02 Banjarsari yang saat ini difungsikan sebagai lapangan bola.

Lurah Banjarsari, Sudiman menceritakan, tanah atas nama Sukiman tersebut dianggap tidak sah kepemilikannya lantaran menurutnya tanah tersebut adalah hasil iuran warga Desa Banjarsari di tahun 1983 untuk pembangunan SD Inpres yang saat ini menjadi SDN 02 Banjarsari.

“Tanah itu aslinya 1983 ada bantuan dari pemerintah SD Impres. Disana kita diminta menyiapkan lahan. Berhubung Desa Banjarsari belum punya lahan. Akhirnya rembuk deso. Diputuskan masyarakat iuran saya masih kecil saat itu masih SMP,” kata Sudiman kepada Mitrapost.com saat ditemui di kantornya hari ini, Jumat (10/12/21).

Diketahui Tanah yang dimaksud saat ini aktanya dipegang oleh Totok Edi Margiyono, Anak dari Sukiman.

Namun kepada Mitrapost.com Sudiman menerangkan, bahwa tanah tersebut adalah milik desa hasil dari iuran warga setempat. Pernyataan tersebu mengacu pada dokumen Letter C (Buku Register tanah desa yang turun-menurun) yang dipegang oleh Pemerintah Desa.

“Zaman dulu tidak disertifikatkan. Saya jadi kepala desa juga tidak ada serah terima. Dan tidak diserahkan ke Kades terdahulu. Kami menggugat berdasarkan buku C. Sudah dikuasakan sama pengacara. Kalau keinginan masyarakat tanah itu harus kembali ke desa karena itu iuran dari orang tua kita,” ungkap Sudiman kepada Mitrapost.com.

Selain mewawancara Kepala Desa Banjarsari, Mitrapost.com melakukan penggalian data kepada Totok Edi Margiyono, pemegang sertifikat tanah.

Totok membenarkan bahwa tanah yang dimaksud adalah tanah milik warga bernama Kartosuli yang hendak dibeli desa untuk dibangunkan Sekolah dasar.

Namun totok menceritakan bahwa tanah tersebut saat jual belinya dibagi menjadi dua bagian, sebagin menjadj milik pemerintah desa yang saat ini dijadikan SD, sementara sisanya adalah tanah yang dibeli sang ibu.

Ia menceritakan awalnya tanah yang dimaksud adalah sebidang sawah. Pemilik tanah, Kartosuli mengizinkan tanahnya dialihfungsikan untuk pendirian SD asalkan diganti tanah sawah produktif.

Karena desa belum mendapatkan lahan pengganti akhirnya tanah tersebut disewa selama tahun 1983-1986 dengan harga Rp.1.100.000 atas swadaya masyarakat.

Barulah di tahun 1986 pemerintah desa saat itu mendapatkan pengganti lahan untuk Kartosuli. Totok mengaku saat itu untuk membeli tanah Kartosuli membutuhkan biaya sebesar Rp 3.100.000, Rp 2 juta untuk membeli tanah sedangkan Rp 1.100.000 untuk sewa tanah 3 tahun.

” Dalam 3 tahun hanya terkumpul swadaya Rp 1.907.500. Yang digunakan 1.100.000 untuk kompensasi Pak Kartosuli maka sisa swadayanya Rp807.500 hanya mampu membeli sebagian dari satu bidang,” terangnya.

Sementara sebagian tanah Kartosuli sisanya dibeli oleh ibu Totok yang bernama Sukarni, suami dari Sukiman.

“Proses jual beli saat itu disaksikan warga masyarakat, pemerintah desa dan seluruh RT dan RK.  Karena saat itu ibu Suparmin kondisinya kesehatannya menurun maka tanah dialikan ke suami Sukiman,” kata Totok.

Kepada mitrapost.com Totok menunjukkan hasil Musdes tahun 1983, bukti kwitansi pembelian, hingga kronologi penerbitan sertifikat resmi dari BKN.

Totok berharap sengketa tanah ini segera rampung dan diputuskan oleh pihak pengadilan dengan seadil-adilnya. Lebih-lebih agar tak menimbulkan perpecahan masyarakat antara yang mendukung dirinya dan pihak pemerintah desa. (*)

Komentar