SMJTimes.com – Bagi banyak orang, kue cubit bukan sekadar camilan manis, tetapi juga potongan kenangan masa kecil.
Kue mungil berbentuk bulat ini biasanya dijual di depan sekolah atau pinggir jalan, dengan aroma khas yang menggoda siapa pun yang lewat.
Dinamakan kue cubit karena ukurannya yang kecil bisa langsung dicubit dan dimakan dalam sekali hap.
Asal-usul kue cubit diperkirakan masuk ke Indonesia pada masa kolonial Belanda. Resep dasarnya mirip dengan poffertjes, camilan tradisional Belanda.
Namun seiring waktu, masyarakat Indonesia menyesuaikan bahan dan cara penyajiannya hingga jadilah kue cubit yang kita kenal sekarang.
Ciri khas kue cubit terletak pada teksturnya yang lembut di dalam dan sedikit garing di luar.
Pilihan tingkat kematangan juga sering menjadi daya tarik. Ada yang suka kue cubit matang penuh, ada pula yang lebih memilih setengah matang, karena bagian tengah yang masih lumer memberikan sensasi tersendiri.
Seiring berkembangnya tren kuliner, kue cubit mengalami banyak inovasi. Topping yang dulu hanya berupa meses cokelat kini hadir dalam berbagai varian mulai dari matcha, red velvet, oreo, hingga keju melimpah.
Inovasi ini membuat kue cubit kembali populer, terutama di kalangan anak muda.
Data dari aplikasi pencarian kuliner Zomato menunjukkan pencarian kedai kue cubit meningkat tajam di kota-kota besar pada periode 2018–2021, terutama setelah tren kue cubit green tea viral di media sosial.
Meski tampak sederhana, kue cubit memiliki daya tarik yang sulit tergantikan. Ia bukan hanya tentang rasa manis dan topping melimpah, tetapi juga tentang momen kebersamaan, obrolan ringan di sore hari, atau sekadar nostalgia masa sekolah.
Di tengah derasnya camilan modern yang menjajah, kue cubit tetap memiliki tempat istimewa di hati masyarakat. (*)
Komentar