SMJTimes.com – Kesehatan mental menjadi topik yang semakin banyak dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir. Namun di lingkungan pendidikan seperti pesantren dan sekolah, isu ini masih sering terabaikan.
Padahal dua tempat tersebut menjadi wadah penting bagi proses tumbuh kembang remaja, baik secara intelektual, sosial, maupun emosional. Kondisi mental yang terganggu dapat memengaruhi semangat belajar, kemampuan bersosialisasi, hingga kepercayaan diri peserta didik.
Karena itu, membahas kesehatan mental di lingkungan pendidikan menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan secara serius.
Di pesantren, kehidupan para santri diatur dengan jadwal yang ketat dan padat. Mereka dituntut untuk bangun dini hari, mengikuti kegiatan ibadah, belajar kitab, sekolah formal, hingga kegiatan sore dan malam hari.
Dalam Jurnal Pengabdian dan Pemberdayaan Kesehatan yang dipublish di Menara Science Indonesia, pola hidup seperti ini membentuk kedisiplinan dan tanggung jawab, namun bagi sebagian santri, hal itu juga bisa menjadi tekanan jika tidak diimbangi dengan dukungan emosional yang memadai.
Perasaan rindu rumah, sulit beradaptasi dengan lingkungan baru, hingga tekanan akademik ganda antara pelajaran umum dan agama dapat memicu stres atau kecemasan. Sayangnya, tidak semua pesantren memiliki sistem pendampingan psikologis yang mampu mengenali gejala gangguan mental sejak dini.
Sementara itu di sekolah umum, tantangan kesehatan mental juga tidak kalah besar. Tekanan nilai, tugas yang menumpuk, ekspektasi orang tua, hingga perundungan (bullying) menjadi penyebab utama stres di kalangan siswa.
Era media sosial turut memperparah keadaan, karena banyak siswa merasa tertekan untuk menampilkan citra sempurna dan takut tertinggal dari teman-temannya.
Beberapa kasus menunjukkan bahwa siswa dengan tekanan mental yang tidak tertangani bisa kehilangan semangat belajar, menarik diri dari pergaulan, bahkan mengalami depresi berat.
Untuk itu, lembaga pendidikan perlu mulai mengubah paradigma. Pendidikan tidak hanya berfokus pada kecerdasan intelektual, tetapi juga keseimbangan emosional.
Pesantren dan sekolah bisa memulai langkah kecil, seperti menghadirkan konselor atau guru pembimbing khusus yang memahami kesehatan mental remaja. Selain itu, kegiatan peer support atau kelompok diskusi antar siswa juga bisa menjadi wadah saling berbagi pengalaman dan perasaan.
Lingkungan yang suportif mampu membantu siswa merasa diterima dan didengar. Peran guru, pengasuh, dan orang tua sangat besar dalam menjaga kesehatan mental anak. Mereka perlu peka terhadap tanda-tanda perubahan perilaku, seperti penurunan prestasi, mudah marah, atau kehilangan semangat.
Alih-alih memberikan tekanan, pendekatan empatik dan komunikasi terbuka lebih dibutuhkan. Guru dan pengasuh yang memiliki pemahaman dasar tentang psikologi remaja dapat menjadi garda terdepan dalam pencegahan masalah mental di sekolah dan pesantren.
Selain itu, budaya terbuka terhadap kesehatan mental harus mulai ditanamkan. Selama ini, masih banyak anggapan bahwa membicarakan perasaan berarti lemah atau kurang iman. Padahal justru sebaliknya, bahwa menyadari kondisi mental adalah tanda kedewasaan.
Pendidikan yang sehat tidak hanya mencetak siswa yang pandai secara akademik, tetapi juga kuat secara emosional dan spiritual. Dengan dukungan lingkungan yang empatik, pesantren dan sekolah dapat menjadi ruang tumbuh yang seimbang antara akal, hati, dan jiwa. (*)











Komentar