ChatGPT, Antara Pro dan Kontra di Lingkungan Akademik

Bagikan ke :

SMJTimes.com – Teknologi Artificial Intellegence (AI) memang bukan suatu hal baru untuk suatu aplikasi. Namun, akhir-akhir ini platform ChatGPT mampu menyedot perhatian publik lantaran kemampuannya dalam menjawab sejumlah pertanyaan sulit dari pengguna.

Antusiasme pengguna pada platform tersebut dinilai sangat besar. Bahkan, hanya dengan waktu dua bulan saja, ChatGPT telah mencapai 100 juta pengguna.

Bambang Riyanto Trilaksono, Guru Besar STEI ITB menyebut ChatGPT menandai sebuah lompatan besar bagi dunia AI.

“ChatGPT ini merupakan lompatan dari teknologi AI. Ini merupakan teknologi yang mendisrupsi banyak hal, karena kecerdasannya,” ujarnya kepada CNN Indonesia (3/3).

Menurutnya, masih terlalu dini untuk menyebut kehadiran Chat GPT sebagai revolusi internet. Namun, melihat bahwa platform tersebut berhasil menarik jutaan pengguna dalam kurun waktu yang relatif singkat, Bambang mengakui teknologi AI mengalami perkembangan yang lebih besar lagi.

Penggunaan ChatGPT memang dianggap sebagai teknologi yang tak terelakkan. ChatGPT nantinya akan semakin pintar. Hal itu dikarenakan algoritmanya yang berkembang semakin luas dan komprehensif.

Pro Kontra Kehadiran ChatGPT

Dilansir dari laman Liputan 6, ChatGPT merupakan chatbot model mesin pembelajaran yang dikembangkan oleh OpenAI. Chatbot ini dilatih untuk memahami bahasa manusia dan menghasilkan teks manusia terstruktur. ChatGPT menggunakan pendekatan deep learning untuk menghasilkan teks, kemudian bekerja dengan cara mempelajari bahasa manusia dari berbagai sumber di internet, seperti teks di situs web, buku, artikel ilmiah, dan dokumen lainnya.

Chatbot ini nantinya dapat menghasilkan teks secara otomatis dengan cara memprediksi kata-kata berikutnya berdasarkan kata-kata sebelumnya dalam teks.

“Format ini memungkinkan Chat GPT menjawab pertanyaan, mengakui kesalahan, menantang premis salah, dan menolak permintaan tidak pantas,” tulis OpenAI dalam unggahan.

Ada beberapa universitas di Australia Selatan yang mendukung penggunaan platform ini di lingkup akademik. Beberapa universitas tersebut, yaitu Flinders University, the University of Adelaide, dan the University of South Australia.

“Yang pro merasa ini adalah tools yang bisa membantu manusia di dalam task atau pekerjaannya,” ujar Bambang lagi.

Kendati demikian, Bambang menuturkan bahwa ada kubu yang kontra terhadap kehadiran ChatGPT.

Mahasiswa atau staf akademik yang menggunakan teknologi tersebut harus menandai pekerjaan mereka sebagai pekerjaan yang mendapat bantuan AI. Selain itu, pengguna juga masih harus mengoreksi pekerjaan yang dilakukan ChatGPT, karena platform ini masih mungkin melakukan kesalahan.

“ChatGPT masih melakukan kesalahan, atau yang dalam lingkungan peneliti disebut kerap melakukan halusinasi, jadi memberikan fakta yang sebetulnya tidak benar,” terang Bambang.

Mereka yang kontra memilih cara lain untuk melakukan kegiatan akademiknya, yakni kembali pada kertas dan pulpen. Universitas di Australia akan melakukan cara ini pada periode ujian yang akan datang.

Bambang menilai kubu pro dan kontra memang memiliki pendapat yang beralasan. Bagi kubu yang kontra, mereka menganggap chatbot tersebut membuat siswa malas untuk berpikir. Namun, bagi kubu yang lain teknologi itu menjadi teknologi yang tidak dapat ditolak.

Komentar