SMJTimes.com – Perubahan lanskap industri musik di Indonesia terus bergerak cepat. Di tengah dominasi media sosial dan platform streaming, era baru yang sering disebut hip digital culture (hipdut) melahirkan pola branding musisi yang jauh berbeda dibanding satu dekade lalu.
Musisi kini tidak hanya dikenal karena suara, tetapi juga karena persona digital dan kemampuan membangun komunitas daring yang kuat.
Menurut laporan Spotify for Artists (2025), lebih dari 70 persen pendengar musik Indonesia menemukan artis baru melalui algoritma rekomendasi digital atau media sosial, bukan dari siaran radio seperti sebelumnya.
Fakta ini menegaskan bahwa branding bagi musisi kini tak bisa lepas dari strategi digital yang terencana.
Musisi baru di era hipdut dituntut untuk memiliki identitas visual dan narasi personal yang kuat. Mereka harus tahu bagaimana membangun citra melalui unggahan, gaya berpakaian, hingga cara berinteraksi dengan penggemar.
Contohnya dapat dilihat pada musisi muda seperti Raissa Anggiani, Nadin Amizah, dan Anggi Marito yang membangun reputasi bukan hanya lewat lagu, tapi juga lewat citra personal yang autentik dan konsisten di platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube.
Di sisi produksi, branding juga terlihat dari kualitas visual dan konsistensi konsep. Musik video, sampul digital, hingga tata warna unggahan di media sosial menjadi elemen penting yang menegaskan kepribadian musikal sang artis.
Menurut riset Nielsen Music Indonesia (2024), 64 persen pendengar Gen Z menilai tampilan visual artis berpengaruh besar terhadap ketertarikan mereka untuk mendengarkan lagu pertama kali.
Selain itu, kolaborasi lintas bidang menjadi strategi branding yang efektif. Banyak musisi baru bekerja sama dengan fashion brand lokal, visual artist, bahkan content creator untuk memperluas jangkauan audiens.
Kolaborasi ini menciptakan sinergi antara musik dan gaya hidup, menjadikan seorang musisi bukan hanya penyanyi, tetapi juga ikon budaya pop digital.
Strategi lain yang semakin populer adalah membangun storytelling personal di media sosial. Alih-alih promosi langsung, musisi muda kini mengajak audiens masuk ke proses kreatif mereka. Misalnya dengan membagikan potongan lagu dalam bentuk reels atau behind the scene produksi.
Teknik ini memberi kedekatan emosional antara musisi dan penggemarnya, yang pada akhirnya memperkuat loyalitas audiens.
Platform seperti TikTok kini menjadi ruang utama untuk membangun identitas musikal. Berdasarkan data TikTok Entertainment Report 2025, lebih dari 40 persen lagu viral di Indonesia berawal dari unggahan musisi independen yang memanfaatkan tren suara atau tantangan tematik.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa kemampuan membaca tren digital sama pentingnya dengan kemampuan bermusik.
Era hipdut menghadirkan peluang besar bagi musisi muda untuk menonjol tanpa bergantung pada label besar. Namun di sisi lain, kompetisi juga semakin ketat. Branding yang kuat, autentik, dan konsisten menjadi kunci untuk bertahan di tengah arus cepat industri digital.
Kini, menjadi musisi bukan sekadar menciptakan lagu, tetapi juga membangun dunia di sekitar musik itu sendiri. Dalam era di mana layar ponsel menjadi panggung utama, keberhasilan seorang musisi ditentukan oleh seberapa dalam menanamkan citra dan kisahnya ke hati para pendengar digital. (*)
Komentar