SMJTimes.com – Dalam beberapa tahun terakhir, aktivitas mendaki gunung semakin populer di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda. Media sosial dipenuhi unggahan foto dari puncak gunung, lengkap dengan pemandangan matahari terbit yang menakjubkan.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan, seperti apakah mendaki gunung kini benar-benar menjadi hobi, atau sekadar tren yang dipicu rasa takut tertinggal (fear of missing out/FOMO)?
Bagi sebagian orang, naik gunung adalah bentuk hobi yang sudah lama digemari. Aktivitas ini menawarkan kepuasan tersendiri mulai dari tantangan fisik, keindahan alam, hingga ketenangan batin.
Penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Outdoor Recreation and Tourism (2022) menunjukkan bahwa mendaki gunung dapat meningkatkan kesehatan mental, menurunkan stres, dan memperkuat koneksi sosial di antara para pendaki.
Hal ini membuat banyak orang menjadikan kegiatan ini sebagai gaya hidup sehat dan berkelanjutan.
Namun di sisi lain, media sosial juga memainkan peran besar dalam mempopulerkan tren mendaki. Foto-foto estetik dari puncak gunung sering kali mendorong orang untuk ikut mencoba, meski tidak semuanya benar-benar memahami esensi dari aktivitas ini.
Inilah yang disebut fenomena FOMO, di mana seseorang termotivasi lebih karena ingin terlihat “ikut tren” dibanding menikmati pengalaman mendaki secara mendalam.
Dari sudut pandang pariwisata, meningkatnya jumlah pendaki juga memberikan dampak positif. Beberapa daerah yang memiliki destinasi pendakian mengalami peningkatan kunjungan wisata, yang turut menggerakkan roda ekonomi lokal.
Meski begitu, lonjakan pengunjung juga menimbulkan tantangan baru, seperti masalah sampah di jalur pendakian dan kerusakan ekosistem.
Pada akhirnya, mendaki gunung bisa menjadi hobi yang menyehatkan sekaligus pengalaman spiritual yang berharga.
Namun, jika motivasinya hanya sekadar mengikuti tren, ada risiko bahwa pengalaman tersebut kehilangan makna, bahkan berpotensi membahayakan jika dilakukan tanpa persiapan matang. (*)
Komentar