Pandangan Hukum Terkait Maraknya Bisnis Thrifting

Bagikan ke :

SMJTimes.com – Bisnis thrifting barang impor masih marak dilakukan oleh para pelaku usaha yang menyebabkan pasar dalam negeri merugi.

Dilansir dari DetikFinance, Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian, Reni Yanita mengatakan bahwa nilai kerugiannya bisa mencapai triliunan rupiah.

Reni menjelaskan barang thrifting masuk melalui jalur perbatasan pintu-pintu kepulauan yang minim pengawasan. Dalam hal ini, peningkatan pengawasan penting dilakukan mengingat kegiatan thrifting barang impor dilarang pemerintah.

Lalu, bagaimana pandangan hukum yang sebenarnya?

Menurut Hukumonline, pada dasarnya bisnis thrifting atau menjual barang bekas tidak dilarang oleh Pemerintah Indonesia, sepanjang barang yang dijual bukan barang-barang larangan seperti pakaian impor bekas.

Hal ini dapat dilihat dengan adanya kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) bernomor 47742 tentang perdagangan eceran pakaian, alas kaki dan pelengkap pakaian bekas seperti baju bekas, celana bekas, mantel bekas, selendang bekas hingga topi bekas.

Oleh karena itu, yang dilarang bukanlah bisnis thrifting dari dalam negeri, melainkan kegiatan impor pakaian bekas dari luar negeri.

Setiap importir yang mengimpor barang dalam keadaan bekas mendapatkan tindak pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 miliar.

Selain itu, setiap pelaku usaha yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha dapat dikenakan sanksi administratif berupa; teguran tertulis, penarikan barang dari distribusi, penghentian sementara kegiatan usaha, penutupan gudang dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha.

Lalu, barang impor yang telah masuk ke wilayah Indonesia dikategorikan sebagai barang milik negara yang tidak dapat digunakan, tidak dapat dimanfaatkan, tidak dapat dihibahkan, tidak mempunyai nilai ekonomis, yang kemudian dimusnahkan. (*)

Komentar