SMJTimes.com – FOMO (Fear of Missing Out) atau ‘takut tertinggal’ merupakan istilah yang kerap kali digunakan saat bermedia sosial. Ternyata istilah ini bukan suatu ungkapan baru, namun mulai populer pada tahun 2004, menurut World Journal of Clinical Cases. Tahun itu bertepatan dengan peluncuran Facebook, sehingga publik mulai mengikuti pembaruan status dan foto.
“Psikolog mulai menggunakan istilah FOMO pada awal tahun 2000an untuk menggambarkan fenomena yang terkait dengan penggunaan situs jejaring sosial. Hal ini mendapat perhatian lebih besar selama bertahun-tahun seiring dengan meningkatnya kehadiran kita di media sosial,” kata Natalie Christine Dattilo, Ph.D, pendiri Priority Wellness Group dan instruktur psikologi di Harvard.
Menurutnya, FOMO merupakan persepsi seseorang bahwa dirinya merasa tertinggal (informasi dan tren yang sedang beredar). Persepsi ini memicu kecemasan dan perilaku kompulsif, seperti memeriksa dan memperbarui situs, untuk menjaga hubungan sosial.
Psikologi FOMO
Dilansir dari Forbes, sebuah penelitian yang berfokus pada kebutuhan remaja (objek penelitian adalah remaja perempuan) untuk ingin ‘selalu’ terhubung secara sosial ini disebut dengan ‘kelaparan sosial’. Kendati demikian, perasaan terhubung ini juga merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi manusia.
Para peneliti mengatakan bahwa perasaan terikat dengan orang lain menyebabkan berkurangnya stres, sehingga mendukung sistem saraf dan sistem kekebalan tubuh.
Sebaliknya, FOMO memengaruhi otak sama dengan kecemasan lainnya. Otak akan merasakan suatu ancaman (dalam hal ini ancaman sosial), sehingga membuat diri lebih waspada. Sistem saraf akan menjadi gelisah, dan memicu perasaan tidak nyaman.
FOMO juga dapat dikaitkan dengan depresi, perasaan lebih stres, dan penurunan kepuasan hidup.
Siapa yang paling rentan terkena FOMO?
Jika dilihat dari rentang usia, remaja mungkin lebih berisiko mengalami FOMO. Dr. Dattilo mengatakan bahwa hal ini berkaitan dengan meningkatnya jumlah waktu yang dihabiskan di dunia maya, serta meningkatnya kebutuhan untuk merasa diakui dalam masyarakat.
Kendati demikian, bukan hanya anak muda yang dapat mengalami FOMO. Dr. Vogel menjelaskan bahwa setiap orang yang sering menggunakan media sosial juga memiliki risiko FOMO dibandingkan mereka yang tidak terlalu sering.
Hingga saat ini, sebuah penelitian pada tahun 2017 menemukan bahwa orang ekstrovert lebih cenderung menggunakan media sosial secara berlebihan dibandingkan introvert.
Dr. Dattilo juga menyebutkan seseorang dengan mengalami kecemasan sosial juga berisiko. Mereka cenderung menghindari situasi sosial yang nyata, sehingga lebih menggantungkan diri pada media sosial untuk menjalin koneksi dan mengurangi kesepian. (*)
Komentar