Masuk Kategori 100 Film Terbaik, Berikut Kisah Dibalik Pembuatan Film Jagal: The Act of Killing

Bagikan ke :

SMJTimes.com – Film Jagal: The Act of Killing yang rilis pada tahun 2012 berhasil masuk dalam kategori 100 film terbaik abad ke-21 versi The New York Times dengan posisi ke-82.

Mengutip dari Tempo, film dokumenter hasil kolaborasi antara Denmark, Britania Raya, dan Norwegia dalam proyek Dowcest yang diinisiasi oleh Universitas Westminster ini pertama kali ditayangkan pada September 2012 di Toronto International Film Festival dan mulai diputar di Indonesia pada November di tahun yang sama.

Total 53 penghargaan dan 43 nominasi yang didapat film ini di berbagai festival film dunia hingga sempat masuk dalam nominasi Oscar 2014 dalam kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik.

Dalam kancah internasional, Jagal: The Act of Killing mendapat banyak pujian dan dukungan, tidak seperti di Indonesia yang menuai kontroversi hingga penayangannya sempat dilarang secara resmi.

Penulis buku Kaum Merah Menjarah, Aminuddin Kasdi menganggap film ini sarat akan kebohongan dan mengimbau agar masyarakat waspada bahkan menyarankan agar tidak memutarnya di ruang publik.

Hal ini dikarenakan Jagal: The Act of Killing berani mengangkat tema yang dianggap kontroversial namun sarat nilai kemanusiaan dengan menyoroti kisah kelam Indonesia melalui sudut pandang para pelaku pembunuhan massal pascakudeta 1965.

Para pelaku diminta memerankan kembali adegan-adegan kekerasan yang pernah dilakukan dengan gaya film yang mereka sukai, mulai dari gangster klasik, western, hingga musikal.

Dari kelompok kecil di Medan, Anwar Congo bersama rekan-rekannya direkrut militer untuk memimpin aksi kekerasan yang menewaskan lebih dari satu juta orang yang dituduh komunis.

Anwar bahkan mengklaim telah membunuh ratusan orang dan masih dihormati hingga kini dalam organisasi paramiliter yang memiliki pengaruh besar di Indonesia.

Namun, hal janggal mulai memasuki perasaan para algojo karena juga menampilkan korban-korbannya. Jagal: The Act of Killing menjadi sebuah pendekatan yang secara perlahan justru memaksa mereka menghadapi kenyataan pahit dari masa lalu.

Seiring proses syuting berjalan, beberapa pemeran justru mulai menunjukkan rasa bersalah hingga takut akan reaksi publik. Narasi heroisme dari para pembunuh tergeser dengan pertanyaan-pertanyaan moral.

Anwar mulai dihantui penyesalan ketika dipaksa menyelami peran korban. Film ini membuka perdebatan tentang budaya impunitas yang mengakar dan bagaimana masyarakat bisa berdamai atau justru gagal berdamai, dengan sejarah kekerasan yang tak pernah dipertanggungjawabkan. (*)

Komentar