SMJTimes.com – Saat akad nikah, seorang suami wajib memberikan istrinya mahar berupa benda yang bisa dimanfaatkan. Benda ini bisa berupa uang, pakaian, perhiasan, perlengkapan salat, dan sebagainya.
Pemberian ini hukumnya wajib, dan sebaiknya berupa barang-barang yang tidak memberatkan dan dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan rumah tangga. Mahar juga menjadi syarat sempurnanya akad nikah.
Menurut kitab al-Fiqh al-Manhaji, disebutkan;
الصداق واجب على الزوج بمجرد تمام عقد الزواج، سواء سمي في العقد بمقدار معين من المال: كألف ليرة سورية مثلاُ، أو لم يسمِّ، حتى لو اتفق على نفيه، أو عدم تسميته، فالاتفاق باطل، والمهر لازم.
Artinya: “Mas kawin hukumnya wajib bagi suami dengan sebab telah sempurnanya akad nikah, dengan kadar harta yang telah ditentukan, seperti 1000 lira Syria, atau tidak disebutkan, bahkan apabila kedua belah pihak sepakat untuk meniadakannya, atau tidak menyebutkannya, maka kesepakatan tersebut batal, dan maskawin tetap wajib.”
Meski demikian, calon pasangan perlu memerhatikan pemberian mahar untuk akad nikah. Pasalnya, ada beberapa benda yang tidak boleh diberikan sebagai mahar. Apa saja itu? Simak penjelasan berikut ini!
Benda yang tidak ada wujudnya di depan mata
Masalah ini dijelaskan dalam kitab Al-Fiqhu Islamiy Wa Adillatuhu;
َنْ یَسْلَمَ مِنَ اْلغَرَر،ِ فَلاَ یَجُوْزُ فِیْھِ عَبْدٌ اَ بِقٌ وَلاَ بِعْرٌ شَارِدٌ وَشِبْھُھُما
Artinya: “Bahwa benar mahar itu terhindar dari tipuan, maka tidak boleh mahar itu seorang hamba sahaya yang lari (hamba sahaya tersebut tidak ada di depan mata) unta yang sesat (unta yang tidak ada di depan mata) atau sesuatu yang serupa keduanya.”
Barang haram
Dalam Kitab Al-Umm Jilid 9 karya Imam Asy-Syafi’i, mahar yang haram tidak hanya tentang zat di dalamnya, namun juga cara mendapatkan barang tersebut. Adapun contoh barang haram adalah minuman keras, barang hasil mencuri, barang hasil riba, dan lain sebagainya.
Bercampur dengan transaksi jual beli
Dari Al-Umm 10: Kitab Induk Fiqih Islam Edisi Terjemahan, Imam Syafi’i pernah menjelaskan, “Apabila seorang perempuan menikah dengan seorang lelaki dengan mahar berupa sesuatu yang tidak dapat dijadikan upah (ju’l), seperti ketika seseorang berkata, ‘Saya nikahkan Anda dengan mahar bahwa Anda harus menyerahkan kepada saya budak saya yang melarikan diri…’ atau dia berkata, ‘Saya nikahkan Anda dengan mahar bahwa Anda harus menyerahkan kepada saya unta milik saya yang melarikan diri…’ Semua syarat tersebut hukumnya tidak boleh, tetapi pernikahan yang dilakukan itu tetap sah dan si istri berhak menerima mahar yang wajar baginya.”
Mahar yang memberatkan
Diriwayatkan oleh Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Termasuk berkahnya seorang wanita, yang mudah khitbahnya (melamarnya), yang mudah maharnya, dan yang mudah memiliki keturunan,” (HR Ahmad).
Barang yang tidak bernilai
Mushthafa Al-Khin dalam kitabnya Al-Fiqhul Manhaji, juz IV, halaman 77 juga menjelaskan, “Tidak ada batasan dalam minimal dan maksimalnya mahar. Intinya, segala sesuatu yang sah disebut harta dan bisa ditukar dengan harta. Boleh menjadi mahar, besar ataupun kecil, dibayar tunai ataupun dihutang, bisa juga berupa manfaat seperti sajadah, uang tunai senilai 1.000 lira (mata uang Mesir), manfaat tinggal di suatu rumah, atau jasa mengajar baca walau hanya satu huruf.”
Mahar titipan untuk wali pihak wanita
Mahar sepenuhnya adalah hak istri, sehingga tidak boleh disyaratkan bahwa mahar dibagi untuk ayahnya. Diriwayatkan dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Wanita mana pun yang menikah dengan mahar pemberian sebelum akad nikah dilakukan, maka itu miliknya. Tetapi apa-apa yang diberikan setelah akad nikah, maka itu milik orang yang diberi. Orang yang paling berhak menghormati seseorang adalah anak perempuan dan saudara perempuannya.” (*)
Komentar