SMJTimes.com – Interaksi sosial merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Dalam prosesnya, setiap individu membawa emosi, pengalaman, dan cara pandang yang berbeda.
Tanpa pengelolaan yang baik, interaksi sosial dapat memicu kelelahan emosional, konflik, hingga tekanan psikologis. Oleh karena itu, kemampuan mengatur batasan emosi menjadi keterampilan penting untuk menjaga kesehatan mental sekaligus kualitas hubungan sosial.
Mengutip dari Lembaga Psikologi Indonesia, mengatur batasan emosi bisa dimulai dari cara mengenali diri sendiri. Seseorang perlu memahami apa yang membuatnya nyaman dan tidak nyaman dalam berinteraksi.
Kesadaran terhadap batas pribadi membantu individu mengenali tanda-tanda kelelahan emosional, seperti mudah tersinggung, merasa tertekan, atau kehilangan energi setelah berinteraksi. Dengan mengenali kondisi ini, seseorang dapat mengambil langkah pencegahan sebelum emosi menjadi tidak terkendali.
Komunikasi yang jujur dan asertif juga berperan penting dalam menjaga batasan emosi. Menyampaikan pendapat, perasaan, atau penolakan secara jelas tanpa menyakiti pihak lain dapat mencegah kesalahpahaman.
Sikap asertif bukan berarti bersikap keras, melainkan menyampaikan kebutuhan diri dengan tetap menghargai orang lain. Hal ini membantu menciptakan hubungan yang sehat dan saling menghormati.
Selain itu, penting untuk memahami bahwa tidak semua masalah orang lain harus ditanggung secara emosional. Empati memang diperlukan dalam interaksi sosial, namun keterlibatan emosional yang berlebihan dapat berdampak negatif.
Menjaga jarak emosional yang sehat membantu individu tetap peduli tanpa mengorbankan kesejahteraan dirinya sendiri. Kemampuan mengelola emosi juga berkaitan dengan pengendalian reaksi.
Dalam situasi yang memicu emosi negatif, mengambil jeda sebelum merespons dapat mencegah tindakan impulsif. Memberi waktu bagi diri sendiri untuk menenangkan pikiran membantu respon yang diberikan menjadi lebih bijak dan proporsional.
Lingkungan sosial yang sehat turut mendukung terjaganya batasan emosi. Memilih lingkar pergaulan yang saling menghargai, terbuka terhadap komunikasi, dan tidak menekan secara emosional akan memudahkan individu menjaga keseimbangan diri.
Sebaliknya, berada dalam lingkungan yang toksik dapat mengikis batas emosi secara perlahan. Mengatur batasan emosi dalam interaksi sosial bukanlah bentuk sikap egois, melainkan wujud kepedulian terhadap kesehatan mental.
Dengan mengenali diri, berkomunikasi secara asertif, dan menjaga keseimbangan emosional, seseorang dapat membangun hubungan sosial yang lebih sehat, stabil, dan berkelanjutan. (*)




Komentar