SMJTimes.com – Musik keroncong dikenal sebagai salah satu warisan budaya yang tumbuh dan berkembang seiring perjalanan sejarah Indonesia. Akar keroncong dapat ditelusuri sejak abad ke-16, ketika para pelaut Portugis membawa alat musik dawai seperti cavaquinho ke Nusantara.
Melansir dari Kumparan, informasi mengenai pengaruh budaya Portugis ini tercatat dalam penelitian etnomusikologi yang dibahas oleh Jaap Kunst dalam Music in Java, yang banyak dijadikan rujukan dalam kajian musik tradisional Indonesia.
Pada masa kolonial, musik keroncong berkembang di daerah pesisir, terutama di Batavia, Tugu, dan Semarang. Komunitas keturunan budak Portugis yang dibebaskan bernama Mardijker, membantu mempertahankan gaya musikal khas yang kemudian disebut Keroncong Tugu.
Dalam laman Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), musik ini mulai berbaur dengan unsur gamelan, Melayu, dan unsur lokal lainnya menjelang akhir abad ke-19, sehingga lahirlah corak keroncong modern.
Memasuki era 1920–1940, keroncong meraih masa kejayaan melalui radio dan panggung orkes. Tokoh seperti Gesang, yang memperkenalkan lagu “Bengawan Solo,” menjadikan keroncong dikenal hingga mancanegara.
Pada periode ini, keroncong juga mulai diiringi instrumen yang lebih beragam seperti cello, flute, biola, hingga gitar akustik, mengikuti format orkes yang banyak digunakan pada masa Hindia Belanda.
Pasca-kemerdekaan, keroncong mengalami adaptasi dengan munculnya keroncong baru dan keroncong campursari yang dipopulerkan oleh seniman daerah.
Meski sempat meredup oleh dominasi musik populer modern, keroncong tetap bertahan sebagai identitas budaya dan sering tampil dalam festival nasional hingga internasional.
Lembaga seperti Lokananta dan organisasi pecinta keroncong terus berupaya menjaga keberlangsungan genre ini melalui rekaman, konser, dan dokumentasi sejarah. (*)











Komentar