SMJTimes.com – Generasi Z atau Gen Z dikenal sebagai kelompok paling terhubung secara digital dalam sejarah. Data terbaru dari We Are Social dan Kepios Report tahun 2025 mencatat bahwa rata-rata Gen Z di Indonesia menghabiskan 7 jam 22 menit per hari untuk berselancar di dunia maya.
Angka ini bukan hanya menggambarkan intensitas penggunaan internet, tetapi juga mencerminkan bagaimana teknologi telah membentuk pola pikir, gaya hidup, hingga cara mereka berinteraksi dengan dunia.
Durasi tersebut sebagian besar dihabiskan untuk media sosial dan hiburan digital. Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube masih mendominasi waktu layar generasi ini, diikuti oleh aktivitas seperti streaming musik, belanja daring, hingga bermain game mobile. Menurut survei yang sama, 82% Gen Z mengaku media sosial adalah sumber utama mereka dalam mendapatkan informasi, menggantikan peran televisi dan media cetak yang dulu lebih dominan.
Fenomena ini menunjukkan adanya perubahan mendasar dalam cara generasi muda membangun realitas sosial. Dunia digital kini bukan sekadar ruang tambahan, melainkan bagian dari identitas mereka.
Melalui internet, Gen Z berjejaring, mengekspresikan diri, dan membangun karier. Banyak dari mereka yang terinspirasi menjadi content creator, digital marketer, hingga freelancer yang bekerja sepenuhnya secara daring.
Namun di balik peluang besar itu, ada sisi lain yang perlu diperhatikan. Waktu layar yang panjang membawa dampak terhadap kesehatan mental dan produktivitas.
Studi dari Global Digital Wellness Index 2024 menemukan bahwa penggunaan internet lebih dari enam jam per hari berpotensi meningkatkan risiko stres digital, gangguan tidur, dan penurunan fokus.
Banyak Gen Z yang mengaku sulit beristirahat dari layar karena merasa selalu harus online agar tidak tertinggal informasi. Tren digital burnout pun mulai terlihat, mendorong sebagian Gen Z untuk menerapkan kebiasaan digital detox atau mengatur waktu khusus tanpa gawai.
Di sisi lain, beberapa universitas dan perusahaan mulai memperkenalkan pelatihan digital well-being untuk membantu generasi muda mengelola keseimbangan antara dunia daring dan nyata.
Meski demikian, sulit untuk menafikan bahwa internet telah menjadi ruang utama pertumbuhan generasi ini. Mereka lahir dalam dunia yang sudah terkoneksi, dan kemampuan adaptasi digital menjadi keunggulan mereka dibanding generasi sebelumnya.
Dengan internet, mereka belajar secara mandiri, membangun bisnis, bahkan berpartisipasi dalam gerakan sosial global. (*)
Komentar