SMJTimes.com – Fenomena ghosting menjadi salah satu topik yang banyak dibicarakan di era digital saat ini. Istilah “ghosting” merujuk pada tindakan seseorang yang tiba-tiba menghilang tanpa penjelasan dalam suatu hubungan, baik asmara, pertemanan, maupun komunikasi profesional.
Dengan berkembangnya teknologi dan media sosial, ghosting semakin mudah dilakukan, karena cukup dengan berhenti membalas pesan atau memutus akses komunikasi, seseorang bisa langsung lenyap seakan tak pernah ada.
Melansir sebuah studi dari Universitas Sains dan Teknologi Komputer (Stekom), salah satu alasan mengapa ghosting marak di era digital adalah karena komunikasi kini lebih sering dilakukan secara daring.
Hubungan yang terjalin melalui pesan singkat atau media sosial membuat kedekatan terasa instan, namun juga rapuh. Ketika muncul rasa tidak nyaman atau ketidakcocokan, sebagian orang memilih cara cepat dengan menghilang daripada harus berhadapan langsung dengan konfrontasi.
Hal ini menunjukkan bagaimana teknologi mempercepat interaksi, tetapi juga membuka celah untuk menghindari tanggung jawab emosional.
Ghosting sering kali meninggalkan dampak psikologis bagi korban. Rasa bingung, kecewa, hingga menurunnya kepercayaan diri adalah beberapa efek yang muncul. Tidak adanya penjelasan membuat seseorang sulit memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Dalam banyak kasus, ghosting bisa melahirkan rasa trauma atau ketakutan untuk membuka diri pada hubungan baru. Bagi pelaku, ghosting mungkin terasa mudah dan praktis, namun bagi yang ditinggalkan, hal ini bisa menimbulkan luka emosional yang cukup dalam.
Menariknya, fenomena ghosting tidak hanya terjadi dalam konteks percintaan. Dalam dunia kerja, misalnya, ada istilah job ghosting ketika kandidat yang sudah diwawancarai tidak mendapat kabar lagi dari perusahaan atau sebaliknya, pelamar kerja menghilang begitu saja setelah menerima tawaran.
Hal ini menunjukkan bahwa ghosting telah menjadi bagian dari dinamika komunikasi digital yang meluas ke berbagai aspek kehidupan.
Namun meski dianggap sebagai tren, ghosting sejatinya mencerminkan persoalan mendasar: ketidakmampuan seseorang mengelola komunikasi dan emosi secara sehat.
Mengakhiri hubungan atau menolak sesuatu dengan cara terbuka memang tidak selalu mudah, tetapi jauh lebih etis dibandingkan menghilang tanpa kabar. Di era yang serba cepat ini, keberanian untuk berkata jujur dan jelas justru menjadi nilai penting yang sering dilupakan.
Fenomena ghosting menunjukkan bahwa teknologi bukan hanya mempermudah interaksi, tetapi juga menghadirkan tantangan baru dalam membangun relasi yang sehat.
Dengan meningkatnya kesadaran akan dampak ghosting, diharapkan masyarakat dapat belajar untuk lebih bijak dalam berkomunikasi, menghargai perasaan orang lain, dan memilih cara yang lebih dewasa dalam mengakhiri hubungan. (*)
Komentar