Fenomena Self Reward: Benarkah Perlu atau Hanya Mengikuti Tren?

Bagikan ke :

SMJTimes.com – Belakangan, istilah self reward semakin sering terdengar. Entah dalam bentuk belanja online setelah gajian, nongkrong di kafe mahal setelah lembur, atau liburan singkat setiap akhir pekan.

Banyak orang menganggapnya sebagai cara sehat untuk menghargai diri sendiri. Tapi, apakah self reward memang benar-benar perlu atau jangan-jangan cuma jadi tren konsumtif semata?

Survei Katadata Insight Center mencatat 64% generasi milenial dan generasi Z di Indonesia pernah melakukan self reward minimal sekali dalam sebulan, dengan belanja online sebagai pilihan utama.

Menariknya, lebih dari separuh responden mengaku pengeluaran untuk self reward sering melebihi rencana anggaran bulanan.

Seorang psikolog menyebutkan bahwa memberi penghargaan kepada diri sendiri bisa berdampak positif. Rasa puas setelah self reward dapat meningkatkan motivasi, mengurangi stres, dan menumbuhkan kebahagiaan sederhana.

Dalam dunia kerja misalnya, memberi jeda dengan hadiah kecil setelah mencapai target bisa membuat seseorang lebih bersemangat.

Namun, sisi lain dari fenomena ini adalah jebakan gaya hidup konsumtif.

Riset Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa salah satu pemicu utang konsumtif anak muda adalah kebiasaan membeli barang non-esensial dengan alasan hadiah untuk diri sendiri. Jika tidak diatur dengan bijak, self reward justru bisa menjadi beban finansial.

Kuncinya ada di keseimbangan. Self reward tidak harus selalu berbentuk barang mahal atau pengalaman mewah. Hal-hal sederhana seperti istirahat cukup, memasak makanan favorit atau menonton film kesukaan juga bisa jadi bentuk apresiasi yang menenangkan. (*)

Komentar