SMJTimes.com – Beberapa tahun terakhir, istilah healing begitu akrab di telinga. Mulai dari unggahan staycation di pegunungan, ngopi sambil baca buku di pantai, hingga solo trip ke tempat terpencil, semua sering diberi tagar #healing.
Tapi sebetulnya, apakah healing sudah menjadi bagian dari gaya hidup sehat? Atau justru hanyalah pelarian emosional dari masalah yang tidak benar-benar dihadapi?
Dalam psikologi, healing merujuk pada proses pemulihan emosi, mental, atau spiritual setelah mengalami tekanan atau luka batin. Artinya, healing bukan sekadar kegiatan menyenangkan, melainkan perjalanan introspektif yang dalam.
Namun di tengah dominasi media sosial, maknanya mulai bergeser. Healing kerap diasosiasikan dengan liburan, belanja impulsif, atau sekadar ‘kabur sejenak’, tanpa ada refleksi diri yang nyata.
Psikolog klinis Tara Well, Ph.D., dari Columbia University menyebutkan bahwa healing seharusnya melibatkan kesadaran atas luka yang dialami dan upaya untuk menerimanya, bukan sekadar menghindar.
Jika terus-menerus healing tanpa mengenali akar dari stres atau trauma yang dirasakan, justru yang terjadi adalah avoidance yang menjadi bentuk penghindaran emosional yang bisa menumpuk dan meledak di kemudian hari.
Fenomena ini semakin diperkuat oleh budaya hustle yang melelahkan. Banyak orang merasa tak memiliki ruang untuk istirahat atau merawat diri secara rutin, hingga akhirnya healing dijadikan momentum untuk melunasi tekanan dalam satu kali jeda.
Padahal, pemulihan mental yang sehat justru perlu dilakukan secara bertahap dan konsisten dalam keseharian. (*)
Komentar