SMJTimes.com – Menjadi dewasa memang sulit, apalagi dengan menyadari bertambahnya tanggung jawab seiring bertambahnya usia. Namun, hal tersebut wajar karena tumbuh dewasa merupakan bagian dari kehidupan, dan setiap orang pasti akan merasakan fase tersebut.
Meski demikian, sebagian orang mungkin merasa tidak bisa tumbuh dewasa, sehingga hal tersebut dapat merusak hubungan, menghambat pekerjaan, bahkan berdampak jangka panjang pada kesehatan mental dan fisik.
Kondisi ini dikenal dengan Peter Pan Syndrome. Lantas, ap aitu Pater Pan Syndrome yang dimaksud? Simak penjelasan berikut ini!
Apa itu Pater Pan Syndrome?
Pater Pan Syndrome (PPS) merupakan seuatu istilah psikologi populer yang digunakan untuk menggambarkan orang dewasa yang mengalami kesulitan dalam tumbuh dewasa. Istilah ini berasal dari karakter fiksi Peter Pan yang diciptakan oleh J.M. Barrie pada tahun 1902, menggambarkan seorang anak ajaib yang tidak pernah menjadi tua.
Dilansir dari Claveland Clinic, pengidap sindrom ini menunjukkan serangkaian perilaku sosial, ideologi, dan sifat yang dianggap belum dewasa. Dalam kebanyakan kasus, mereka mungkin bergumul dengan sulitnya berkomitmen, mempertahankan pekerjaan, dan menjalankan tanggung jawab. Mereka juga sering kali kehilangan arah dalam hidup mereka.
Sindrom ini lebih banyak terjadi pada pria, namun tak menutup kemungkinan terjadi pada perempuan juga.
“Sama seperti Peter Pan, orang-orang ini mengalami kegagalan dalam menciptakan atau penolakan untuk tumbuh dewasa,” kata Psikoterapis Natacha Duke, MA, RP.
Menurutnya, ada semacam sifat egosentris dalam diri mereka, sehingga mereka terus-menerus menghindari tanggung jawab dan komitmen, serta tidak mengambil tanggung jawab orang dewasa seperti yang dilakukan kebanyakan orang.
Apa penyebabnya?
Ada sejumlah faktor penyebab sindrom ini, seperti helicopter parents atau pola asuh yang terlalu protektif. Metode pengasuhan seperti ini menuntut agar anak terus mengikuti arahan dari orang tua tanpa diberikan waktu untuk memilih sendiri. Hal ini akan menimbulkan sifat ketergantungan di kemudian hari.
Faktor lain yang berkontribusi mungkin termasuk trauma masa kecil. Tekanan sosial terhadap perilaku remaja, pembatasan kebebasan dan petualangan sering kali memainkan peran yang mendukung dalam mengembangkan perilaku tersebut.
“Dalam kasus di mana anak-anak tumbuh dalam keadaan yang mengerikan, terkadang ada kebutuhan untuk menghidupkan kembali masa kanak-kanak di masa dewasa,” kata Duke. (*)
Komentar