Dian Sastro Pakai Kebaya di Gadis Kretek, Simak Sejarah Kebaya Janggan Berikut Ini

Bagikan ke :

SMJTimes.com – Salah satu yang menarik perhatian penonton ‘Gadis Kretek’ adalah hadirnya aktris Dian Sastrowardoyo yang tampil anggun dan memukau dengan mengenakan kebaya khas Jawa, tepatnya Yogyakarta. Dian Sastro sendiri berperan sebagai Jeng Yah atau Dasiyah, yakni seorang peracik rokok kretek di tahun 1960-an di serial original Netflix tersebut

Dalam kisah yang mengambil latar masa lalu itu, ia sering memakai kebaya janggan berwarna monokrom. Jenis kebaya ini dikenakan oleh kaum perempuan sejak Perang Diponegoro berakhir, yang sekitar 1830-an. Ternyata, kebaya ini juga sering dipakai oleh tokoh pahlawan wanita Indonesia, yakni Nyi Ageng Serang.

Sejarah kebaya janggan

Menurut informasi, model kebaya janggan diadopsi dari seragam militer Eropa. Sesuai namanya, janggan berasal dari kata jangga yang berarti leher. Kebaya ini juga memiliki ciri khas kerah tinggi dan kancing kiri, seperti jas pada pakaian adat laki-laki atau surjan.

Pakaian adat ini sudah mulai dikenakan oleh kalangan perempuan keraton Yogyakarta sejak masa kepahlawanan Pangeran Diponegoro di Tanah Air pada tahun 1980-an. Ratna Ningsih, istri dari Pangeran Diponegoro mendampingi suaminya berperang melawan Belanda dan menyembunyikan senjata keris di balik janggan.

Warna hitam yang sering dikenakan oleh Dian Sastrowardoyo dalam serial ‘Gadis Kretek’ melambangkan ketegasan, kesederhanaan, dan kedalaman pemikiran, serta menunjukkan sifat keputrian orang Jawa pada umumnya. Penggambaran tersebut cocok dengan karakter Jeng Yah yang memiliki sifat kalem, tidak banyak bicara, namun memiliki ketegasan, kecerdasan dan ketajaman pikiran.

Pakaian yang dipakai oleh Nyi Ageng Serang

Kebaya janggan ini juga sering di pakai Nyi Ageng Serang. Pahlawan yang memiliki nama asli Raden Ajeng Kustiah Retno Adi tersebut lahir pada 1752 di Purwodadi, Jawa Tengah. Ia adalah putri dari Pangeran Notoprojo yang dikenal sebagai Panembahan Serang. Ayahnya tersebut menjadi salah satu Panglima Perang Sultan Hamengku Buwono I.

Nyi Ageng Serang memulai perjuangannya saat ayahnya gugur setelah menolak perjanjian Giyanti pada 1755. Pahlawan wanita itu memimpin pasukan untuk melawan penjajah, namun mengalami kekalahan sehingga Nyi Ageng Serang juga tertangkap dan dibawa ke Yogyakarta.

Nyi Ageng Serang menikah dengan Pangeran Kusumawijaya. Ia dan suaminya setuju untuk bergabung bersama Pangeran Diponegoro dalam peperangan melawan Belanda. Namun, ia harus mengalami kehilangan lagi karena sang suami gugur di medan tempur.

Selama hidupnya, Nyi Ageng Serang dikenal memiliki sifat yang tidak pernah putus asa, memiliki pandangan tajam ke depan, serta menjadi salah satu sosok pahlawan wanita yang terlatih untuk menghadapi segala ancaman dan pertempuran. (*)

Komentar