SMJTimes.com – Meski kehadiran Artificial Intelligence (AI) membuat manusia berpikir lebih cepat, namun teknologi tersebut tak lantas membuat manusia berpikir lebih akurat. Hal ini menyebabkan adanya kesalahan mendasar yang mungkin tidak terdeteksi.
Dilansir dari CNN Indonesia yang mengutip buku berjudul ‘I, Human – AI, Automation, and the Quest to Reclaim What Makes Us Unique,’ profesor psikologi bisnis dan Chief Innovation Officer di ManpowerGroup, Tomas Chamorro-Premuzic menyebut era AI mengharuskan otak manusia untuk selalu waspada terhadap perubahan sekecil apapun, kemudian bereaksi dengan cepat. Artinya, lebih mengoptimalkan kecepatan daripada keakuratan.
Pakar ekonomi perilaku (behavioral economist) itu menyebut fenomena tersebut sebagai mode Sistem 1 atau mode ketika manusia melakukan pengambilan keputusan yang impulsif, intuitif, dan otomatis. Dampak dari fenomena ini adalah manusia menjadi kurang sabar dalam mengambil keputusan. Hal tersebut menyebabkan seseorang membuat kesalahan dan merusak kemampuan untuk mendeteksi kesalahan.
Intuisi memang sangat membantu, tetapi intuisi tersebut diperoleh dari pengalaman dan ribuan jam terbang, seperti para ahli dan peneliti yang menghabiskan waktunya berkutat pada data. Mereka dapat bertindak cepat sesuai dengan keahlian dan pengalaman.
Disisi lain, seseorang yang bukan ahli akan menggantungkan informasi dari teknologi Artificial Intelligence. Kehadirannya membuat informasi tersebut lebih mudah disampaikan kepada audiens. Namun, AI bisa saja salah, sementara dengan pengetahuan terbatas yang secara tak sadar pengguna lain akan menerima informasi tersebut. Informasi salah tersebut kemudian menyebar ke publik dan bisa dipercayai oleh orang lain. Hal ini akan menciptakan lingkaran informasi salah.
Menurut Tomas, impulsivitas digital dan ketidaksabaran akan merusak kemampuan manusia untuk menumbuhkan intelektualitas, mengembangkan keahlian, dan memperoleh pengetahuan.
Sebuah studi akademis memperkirakan 10 persen rumor digital teratas yang kebanyakan berisi berita palsu menyumbang hingga 36 persen retweet. Efek ini berkaitan dengan istilah ruang gema atau echo chamber.
Ruang gema ini terjadi saat adanya narasi yang hanya berupa clickbait berisi pandangan, kepercayaan, dan ideologi pengguna menyebar dengan cepat. Respon cepat itu membuat ketidaksesuaian akan luput dari perhatian.
Maka dari itu, diperlukan untuk merespons lebih lambat untuk menentukan apakah sesuatu itu berita asli atau palsu. Hal ini dapat diterapkan ketika menggunakan AI agar pekerjaan yang kita lakukan dengan teknologi ini tetap cepat, tetapi akurasinya juga terjaga.
Komentar